PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Hadis adalah sumber ajaran islam yang kedua setelah
al-Qur’an. Pada zaman Nabi sesungguhnya sudah ada yang menulis Hadis ini,
tetapi jumlahnya sangat terbatas mengingat larangan dari Nabi sendiri dan
perhatian sahabat lebih tertuju pada al-Qur’an. Setelah sepeninggal Nabi,
Hadis-hadis mulai dibukukan dengan alasan keterbatasan para ulama’ yang
menghafal Hadis. Dalam masa yang cukup panjang ini telah terjadi banyak
pemalsuan Hadis, sehingga untuk menjaga keaslian Hadis tersebut sesuai apa yang
disampaikan Nabi, perlu perhatian khusus dari siapa Hadis diterima, mengingat
Hadis sebagai Hujjah kedua dalam Islam.
- Rumusan Masalah
Dalam makalah ini yang menjadi rumusan masalah adalah:
1. Apa yang dimaksud dengan Sanad ?
2. Bagaimana perkembangan dan permulaan sistem Isnad ?
3. Apa maksud dari TAHAMMUL WA SIGHAT
AL - ADA' ?
4. Bagaimana dokumentasi atau penghimpunan hadis dilakukan ?
- Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui pengertian Sanad.
2. Untuk mengetahui perkembangan dan permulaan sistem Isnad.
3. Untuk mengetahui maksud dari TAHAMMUL WA SIGHAT
AL - ADA'
4. Untuk mengetahui cara dokumentasi atau penghimpunan hadis
A. PENGERTIAN SANAD
Sanad dari segi bahasa artinya المتمد
(sandaran, tempat bersandar, yang menjadi sandaran). Sedangkan menurut istilah
ahli hadis sanad yaitu المتنلىاالطريقةالموصل ( jalan yang menyampaikan kepada matan hadis ). Tetapi secara istilah ada perbedaan pendapat.
Al-Badru bin Jama'ah dan Al-Thiby mengatakan bahwa sanad adalah berita tentang jalan matan. Yang lain menyebutkan
sanad adalah silsilah orang-orang (yang meriwayatkan hadis), yang
menyampaikannya kepada matan hadis.
Ada juga yang menyebutkan silsilahpara perawi yang menukilkan hadis dari
sumbernya yang pertama.
Yang
berkaitan dengan istilah sanad,
terdapat kata-kata seperti, al-isnad,
al-musnid, dan al-musnad. Kata-kata
ini secara terminologis mempunyai arti yang cukup luas, sebagaimana yang
dikembangkan oleh para ulama. Kata al-isnad berarti menyandarkan, mengasalkan
(mengembalikan ke asal), dan mengangkat. Yang dimaksudkan disini, ialah
menyandarkan hadis kepada orang yang mengatakannya (raf'u hadits ila qa'ilih atau 'azwu
hadits ila qa'ilih).
Isnad ialah pemberitaan rawi tentang rentetan
rawi (yang meriwayatkan) yang dijadikan sandaran dalam periwayatan hadis. Sanad
ialah yang menyampaikan pada matan hadis, yaitu berupa rentetan rawi-rawi yang
meriwayatkan hadis dari Rasulullah. Sanad dari segi Menurut Al-Thiby, sebenarnya kata al-isnad dan al-sanad digunakan oleh para ahli hadis dengan pengertian yang sama.
Kata
al-musnad mempunyai beberapa arti.
Bisa berarti hadis yang disandarkan atau diisnadkan
oleh seseorang; bisa berarti nama suatu kitab yang menghimpun hadis-hadis
dengan sistem penyusunan berdasarkan nama-nama para sahabat para perawi hadis,
seperti kitab Musnad Ahmad; bisa juga berarti nama bagi hadis yang marfu' dan muttashil.
B. PERMULAAN DAN PERKEMBANGAN SISTEM ISNAD
Sistem isnad
muncul pertama kali pada masa hidup Nabi SAW,
dan telah berkembang menjadi ilmu yang mapan pada akhir abad pertama Hijrah.
Sistem ini dimulai dari praktek para Sahabat dalam meriwayatkan Hadis Nabi
ketika mereka saling bertemu. Secara bergantian dan saling menginformasikan mengenai
apa yang telah mereka dengar dan lihat. Sudah biasa juga bahwa siapa saja yang
mendapatkan informasi pada tahap kedua, ketika melaporkan kejadian itu kepada
orang ketiga, akan menyampaikan sumber-sumber informasinya dan memberikan
cerita lengkap mengenai kejadian itu.
Metode ini, yang digunakan
pada masa-masa awal untuk menyebarkan Sunnah Nabi, adalah awal mula sistem
isnad. Selama dekade keempat dan kelima tahun Islam sistem itu menjadi penting
karena terjadinya pergolakan pada masa itu. Dimungkinkan bahwa pemalsuan Hadis
pertama kali muncul pada periode tersebut karena alasan politik. Para ulama
menjadi berhati-hati dan mulai meneliti sumber - sumber informasi yang
diberikan kepada mereka. Ibn Sirin ( w. 110 H )
berkata : “ Mereka tidak biasa menanyakan isnad, tapi ketika terjadi fitnah
mereka berkata : “ Berikan kepadaku nama orang-orangmu “. Karena orang-orang
ahli Sunnah, Hadis mereka diterima, sedangkan mereka yang ahli bid’ah Hadis
mereka ditolak.” Menjelang akhir abad pertama, praktek semacam ini telah menjadi
ilmu yang baku.
Pandangan Schacht secara keseluruhan adalah bahwa sistem isnad mungkin validh biask melacak
Hadis-hadis sampai pada ulama-ulama abad kedua, tapi rantai periwayatan yang
merentang kebelakang sampai kepada Nabi SAW dan para sahabat adalah palsu. Argumennya dapat diringkas dalam lima poin:
- Sistem
isnad dimulai pada awal abad
kedua atau paling awal akhir abad pertama.
- Isnad-isnad itu diletakkan secara sembarangan dan
sewenang-wenang oleh mereka yang ingin " memproyeksikan ke belakang " doktrin-doktrin mereka sampai
kepada sumber-sumber klasik.
- Isnad-isnad
itu
secara bertahap "meningkat" oleh pemalsuan isnad-isnad yang terdahulu tidak lengkap, tapi semua
kesengajaan dilengkapi pada masa koleksi-koleksi klasik.
- Sumber-sumber
tambahan diciptakan pada masa Syafi'i untuk menjawab penolakan-penolakan
yang dibuat untuk hadis-hadis yang dilacak kebelakang sampai kepada satu
sumber. "Isnad-isnad keluarga"
adalah palsu, dan demikian pula materi yang disampaikan di dalam isnad-isnad itu.
- Keberadaan
common narrator dalam rantai
periwayatan merupakan indikasai bahwa hadis itu berasal dari masa
periwayat itu4.
C. TAHAMMUL WA SIGHAT AL-ADA'
Para Ulama hadist mengistilahkan “ menerima dan mendengar
suatu periwayatan hadis dari seseorang guru dengan menggunakan beberapa metode
penerimaan hadis “ dengan istilah Al – Tahammul. Sedangkan " menyampaikan
atau meriwayatkan hadis kepada orang lain "
mereka istilahkan dengan al-ada'.
- Penerimaan Anak-anak, Orang Kafir, dan Orang Fasik
Jumhur ulama ahli hadis
berpendapat, bahwa penerimaan periwayatan suatu hadis oleh anak yang belum
sampai umur (belum mukallaf) dianggap
sah bila periwayatan hadis tersebut disampaikan kepada keadaan para sahabat ,
tabi’in, dan ahli ilmu setelahnya menerima periwayatan hadis seperti Hasan, Abdullah
bin Zubeir, Ibnu Abbas, Nu’man bin Basyir, Salib bin Yazid dan lain-lain dengan
tanpa mempermasalahkan apakah mereka sudah baligh atau belum.
Al-Qadhi ‘Iyad
menetapkan, bahwa batas minimal usia anak diperbolehkan bertahammul paling tidak sudah mampu menghafal apa yang didengar dan
mengingat-ingat yang dihafal. Pendapat ini didasarkan pada hadis riwayat
Bukhari dari Sahabat Mahmud bin Al-Rubai’: “ Saya ingat Nabi SAW meludahkan air
yang diambilnya dari timba ke mukaku, sedang pada saat itu saya berusia lima
tahun ”
Sementara ulama Syam
memandang usia yang ideal bagi seorang untuk meriwayatkan hadis setelah berusia
30 tahun, dan ulama kufah berpendapat minimal 20 tahun.
Kebanyakan ulama ahli hadis tidak menetapkan batasn usia tertentu bagi anak yang
diperbolehkan bertahammul, akan tetapi lebih menitikberatkan pada ke-tamyiz-an mereka. Namun mereka berbeda
pendapat tentang ke-tamyiz-an
tersebut.
Terjadinya perbedaan pendapat
ulama mengenai ke-tamyiz-an seseorang
tidak terlepas dari kondisi yang mempengaruhi kepadanya dan bukan berdasarkan
pada usianya tertentu, karena situasi dan kondisi mempengaruhi berbeda, belum
mumayiz. Oleh karenanya, ke-tamyiz-an
seseorang bukan diukur dari usia, tetapi didasarkan pada tingkat kemampuan
menangkap dan memahami pembicaraan dan mampu menjawab pertanyaan dengan benar
serta adanya kemampuan menghafal dan mengingat-ingat hafalannya.
Mengenai penerimaan
hadis bagi orang kafir dan orang fasik, jumhur ulama ahli hadis menganggap sah,
asalkan hadis tersebut diriwayatkan kepada orang lain pada saat mereka telah
masuk Islam dan bertaubat. Alasan mereka kemukakan adalah banyaknya kejadian
yang mereka saksikan dan banyaknya sahabat yang mendengar sabda Nabi SAW sebelum
mereka masuk Islam. Di antara sahabat yang mendengar sabda Rasul SAW pada waktu
belum masuk Islam adalah Zubair.
Dia pernah mendengar Rasul
SAW membaca surat At-Thur pada waktu sembahyang maghib, ketika dia tiba di
Madinah untuk menyelesaikan urusan perang Badar, dalam keadaan masih kafir.
Akhirnya dia masuk Islam. Bila penerima hadis oleh orang kafir yang kemudian
disampaikannya setelah memeluk Islam dapat diterima, maka sudah barang tentu
dianggap sah penerimaan hadis oleh orang fasik yang diriwayatkannya setelah dia
bertaubat.
b. Tahammul Wa Sighat Al-Ada' ( menerima atau mendengar suatu periwayatan hadis dari
seseorang guru dan menyampaikan atau meriwayatkan hadis kepada
orang lain ) ada delapan cara
yaitu:
- Al - Sima'min lafazh al-syaikh
(mendengar hadis dari guru).
Yaitu seorang guru meng-imla-kan (mendiktekan) hafalan atau tulisannya kepada muridnya. Dan
murid-muridnya mendengar, menghafal, dan menulisnya. Dan ini merupakan cara sima' yang paling tinggi. Sebagian dari mereka ada yang mengatakan
bahwa al-sama' yang diberengi dengan
al-kitabah mempunyai
nilai lebih tinggi dan paling kuat. Karena terjamin kebenarannya dan terhindar
dari kesalahan dibanding dengan cara-cara lainnya, disamping para sahabat juga
menerima hadis dari Nabi SAW dengan cara seperti ini.
Termasuk dalam kategori sama' juga seseorang yang mendengarkan hadis
dari
syeikh dari balik sattar (semacam
kain pembatas/penghalang). Jumhur ulama membolehkannya dengan berdasar pada
para sahabat yang juga pernah melakukan hal demikian ketika meriwayatkan
hadis-hadis Rasulullah melalui ummahat
al-mu'minin (para istri nabi).
Menurut Al-Qadhi 'Iyad,
yang dikutip oleh Al-Suyuti, di dalam cara (sama')
ini, para ulama tidak memperselisihkan kebolehan rawy dalam meriwayatkannya, menggunakan kata-kata:
حد ثنا (seseorang telah
menceritakan kepada kami)
اخبرنا (seseorang
telah mengabarkan kepada kami)
انبأنا (seseorang telah memberitakan kepada kami)
سمعت فلانا(saya telah mendengar seseorang)
قال لنا فلان (seseorang telah berkata kepada kami), dan
ذكر لنا فلان (seseorang telah menuturksn kepada kami)
- Al - Qira'ah'ala al-syaikh (membacakan
hadis di hadapan guru).
Yaitu seorang murid membacakan hafalan atau tulisannya di
hadapan gurunya, sedangkan gurunya dan murid-murid lain mendengarkan. Ini baik sang guru hafal maupun tidak tetapi
dia memegang kitabnya atau mengetahui tulisannya atau dia tergolong tsiqqah.
Ajjaj Al-Khatib dengan mengutip pendapat Imam Ahmad
mensyaratkan orang yang membaca (qari) itu
mengetahui dan memahami apa yang dibaca. Sementara syarat bagi Syeikh dengan
mengutip pendapat Imam Haramain- hendaknya yang ahli dan teliti ketika
mendengar atau menyimak dari apa yang dibacakan oleh qari, sehingga tahrif maupun
tashif dapat terhindarkan. Jika tidak
demikian maka proses tahammul tidak sah.
Para ulama sepakat bahwa cara seperti ini dianggap sah,
namun mereka bereda pendapat mengenai serajat al-qira'ah. Di antara mereka,
seperti Al-Lais bin Sa'ad, Syu'ban, Ibnu Juraih, Sufyan Al-Tsauri, Abu Hunifah,
menganggap bahwa al-qira'ah lebih baik jika dibanding al-sama', sebab dalam al-sama'
bila bacaan guru salah, murid tidak leluasa menolak kesalahan, tetapi dalam
al-qira'ah, bila bacaan murid salah,
guru segera membenarkannya.
Imam Malik, Bukhari, sebagian besar ulama Hijaz dan Kufah
menganggap bahwa antara al-qira'ah i dengan
al-sama' mempunyai derajat yang sama. Ibnu Abbas mengatakan (kepada muridnya) " Bacakanlah kepadaku, sebab bacaan kalian
kepadaku seperti bacaanku kepada kalian. "
Sementara Ibnu Al-Shalah, Imam Nawawi dan Jumhur ulama memandang bahwa al-sama' lebih tinggi derajatnya
dibanding dengan cara al-qira'ah.
- Al - Ijazah ( pemberian izin guru untuk
meriwayatkan hadis secara lisan atau tulisan )
Para ulama berbeda pendapat mengenai penggunaan ijazah
ini sebagai cara untuk meriwayatkan hadis. Ibnu Hazm mengatakan bahwa cara
meriwayatkan hadis dengan cara menggunakan ijazah
ini dianggap bid'ah dan tidak diperbolehkan dan bahkan ada sebagian ulama
yang menambahkan bahwa ijazah ini
benar-benar diingkari. Sedangkan ulama
yang memperbolehkan cara ijazah ini
menetapkan syarat hendaknya sang guru benar-benar mengerti tentang apa yang
diijazahkan dan naskah muridnya menyamai dengan yang lain, sehingga seolah-olah
naskah tersebut adalah aslinya serta hendaknya guru yang memberi ijazah itu
benar-benar ahli ilmu.
- Al - Munawalah
( pemberian kitab hadis dari guru
kepada murid ).
Al-Munawalah mempunyai
dua bentuk, yakni: Pertama, Al-Munawalah dibarengi dengan ijazah.
Misalnya setelah sang guru menyerahkan kitabnya yang telah dia riwayatkan atau naskahnya yang telah
dicocokan atau beberapa hadis yang telah ditulis, lalu dia katakan kepada
muridnya " ini
riwayat saya, maka riwayatkanlah diriku ",
kemudian menyerahkannya dan sang murid menerima sambil sang guru berkata " saya telah ijazahkan kepadamu untuk kamu riwayatkan
dariku "
Kedua,
Al-Munawalah tanpa
dibarengi dengan ijazah. Seperti perkataan guru kepada muridnya " ini hadis saya "
atau " ini adalah hasil
pendengaranku atau dari periwayatanku "
dan tidak mengatakan " riwayatkanlah
dariku atau saya ijazahkan kepadamu ".
Menurut kebanyakan ulama al-munawalah dalam bentuk ini tidak diperbolehkan.
Hadis yang diriwayatkan berdasarkan munawalah tanpa dibarengi ijazah biasanya
menggunakan redaksi: seseorang
telah memberikan kepadaku/kami.
- Al - Mukatabah (guru
menulis hadis yang didengar untuk murid).
Yaitu seorang guru
menuliskan sendiri atau menyuruh orang lain untuk menuliskan sebagian hadisnya
guna diberikan kepada murid yang ada di hadapannya atau yang tidak hadir dengan
jalan dikirimi surat melalui orang yang dipercaya untuk menyampaikannya :
Al-Mukatabah ada dua macam,
yakni:
Pertama, Al - Mukatabah yang dibarengi dengan ijazah, yaitu
sewaktu sang guru menuliskan beberapa hadis untuk deberikan kepada muridnya
disertai dengan kata-kata ini "ini adalah hasil periwayatanku, maka
riwayatkanlah" atau " saya
ijazah(izin)-kan kepadamu untuk kamu riwayatkan kepada orang
lain “ Kedudukan al-mukatabah dalam bentuk ini sama
halnya dengan
al-munawalah yang dibarengi dengan ijazah, yakni dapat
diterima.
Kedua, Al - Mukatabah yang tidak dibarengi dengan ijazah, yakni
guru menuliskan hadis untuk diberikan kepada muridnya dengan tranpa disertai
perintah untuk meriwayatkannya atau mengijazahkan. Al-mukatabah
dalam bentuk ini di perselisihkan oleh para ulama. Ayub, mansur, Al-Lais, dan
tidak sedikit dari ulama Syafi'iyah dan ulama usul menganggap sah periwayatan
dengan cara ini. Sedangkan Al-mawardi menganggap tidak sah.
- Al - I'lam
(pemberitahuan guru kepada murid tentang hadis atau kitab hadis).
Yaitu memberitahukan
seorang guru kepada muridnya, bahwa kitab atau hadis yang diriwayatkannya dia
terima dari seseorang (guru), dengan tanpa memberikan izin kepada muridnya
untuk meriwayatkannya atau menyuruhya. Sebagian ulama ahli ushul dan pendapat
ini dipilih oleh Ibnu Al-Shalah menetapkan tidak sah meriwayatkan hadis dengan
cara ini. Karena dimungkinkan bahwa sang guru sudah mengetahui ada sedikit atau
banyak cacatnya. Sedangkan kebanyakan ulama ahli hadis, ahli
fiqih, dan ahli ushul memperbolehkan.
- Al - Wasiyah
( wasiat guru kepada murid sebelum
wafatnya tentang kitab hadis yang diriwayatkannya ).
Yaitu
seorang guru, ketika akan meninggal atau berpergian, meninggalkan pesan kepada
orang lain untuk meriwayatkan hadis atau kitabnya, setelah sang guru meninggal
atau berpergian. Periwayatan hadis dengan cara ini oleh jumhur dianggap lemah. Sementara Ibnu Sirin membolehkan mengamalkan hadis yang diriwayatkan
atas jalan wasiat ini. Orang yang diberi wasiat ini tidak boleh meriwayatkan
hadis ini dari si pemberi wasiat dengan redaksi.
- Al - Wijadah
( penemuan hadis oleh murid dari
tulisan yang diriwayatkan seorang guru )
Yaitu seorang
memperoleh hadis orang lain denga mempelajari kitab-kitab hadis dengan tidak
melalui cara al-asma', al-ijazah, atau al-munawlah. Para ulama berselisih
pendapat mengenai cara ini. Kebanyakan ahli hadis dan ahli fiqih dari manzhab
Maliky tidak memperbolehkan meriwayatkan hadis dengan cara ini. Imam Syafi'i
dengan golongan pengikutnya memperbolehkan beramal dengan hadis yang
periwayatannya melalui cara ini. Ibnu-shalah mengatakan, bahwa sebagian ulama
Muhaqqiqin mewajibkan mengamalkan bila diyakini kebenarannya.
Adapun
sighat al-ada' atau lafazh-lafahz
untuk menyampaikan hadis dapat
dikelompokkan kepada dua kelompok,
yaitu:
- Lafazh
meriwayatkan hadis bagi para rawi yang mendengar langsung dari gurunya,
seperti سمعنا
,ستعت ( saya telah mendengar, kami telah
mendengar ), lafazh ini
membuat nilai hadis yang diriwayatkannya tinggi martabatnya, dikarenakan
para rawinya mendengar sendiri-sendiri baik berhadapan muka dengan guru yang memberikannya atau
dibelakang tabir. Kemudian lafazh tahdits حدثنا,
حدثني (
telah bercerita kepadaku, telah bercerita kepada
kami ), di bawahnya
ada lafazh ikhbar اخبرنا, اخبرنى
( telah mengabarkan kepadaku, telah
mengabarkan kepada kami ),
selanjutnya lafazh لنقل
, لىقل ( telah
berkata kepadaku, telah menuturkan kepada kami ).
- Lafazh riwayat bagi rawi yang mungkin mendengar
sendiri atau tidak mendengar sendiri, seperti نا عن, حكى , يور (diriwayatkan oleh, dikisahkan oleh, dari,
bahwasanya).
D. DOKUMENTASI ATAU PENGHIMPUNAN HADIS
Pada abad pertama hijrah, yakni masa
Rasulullah SAW, masa khulafaur Rasyidin dan sebagian besar masa bani umayah,
hingga akhir abad pertama hijrah, hadis-hadis itu berpindah-pindah dan disampaikan
dari mulut ke mulut. Masing - masing perawi pada waktu itu meriwayatkan hadis
berdasarkan kekuatan hafalannya. Memang hafalan mereka terkenal kuat sehingga
mampu mengeluarkan kembali hadis - hadis yang pernah direkam dalam ingatannya.
Ide penghimpunan hadis Nabi secara
tertulis untuk pertama kalinya dikemukakan oleh khalifah Umar bin Khatab
(w.23/H/644M). Namun ide tersebut tidak dilaksanakan oleh Umar karena beliau
khawatir bila umat islam terganggu perhatiannya dalam mempelajari Al-Qur’an.
Pada masa pemerintahan Khalifah Umar
bin Abdul Aziz yang dinobatkan akhir abad pertama hijrah, yakni tahun 99 hijrah
datanglah angin segar yang mendukung kelestarian hadis. Umar bin Abdul Aziz
seorang khalifah dari Bani Umayyah terkenal adil dan wara’, sehingga beliau
dipandang sebagai khalifah Rasyidin yang kelima.
Beliau sangat waspada dan sadar,
bahwa para perawi yang mengumpulkan hadis dalam ingatannya semakin sedikit
jumlahnya, karena meninggal dunia. Beliau khawatir apabilka tidak segera
dikumpulkan dan dibukukan dalam buku-buku hadis dari para perawinya, mungkin
hadis-hadis itu akan lenyap bersama lenyapnya para penghafalnya. Maka
tergeraklah dalam hatinya untuk mengumpulkan hadis-hadis Nabi dari para
penghafal yang masih hidup. Pada tahun 100 H. Khalifah Umar bin Abdul Aziz
memerintahkan kepada gubernur Madinah, Abu Bakar bin Muhammad bin Amir bin Hazm
supaya membukukan hadis-hadis Nabi yang terdapat pada para penghafal.
Umar bin Abdul Azis menulis surat kepada Abu Bakar bin Hazm yang berbunyi :
“ Perhatikanlah apa
yang dapat di peroleh dari hadis Rasul lalu tulislah, karena aku takut akan
lenyap ilmu disebabkan meninggalnya ulama dan jangan diterima selain hadis
Rasul SAW. Dan hendaklah disebarluaskan ilmu dan diadakan majelis-majelis ilmu
supaya orang yang tidak mengetahuinya dapat mengetahuinya , maka sesungguhnya
ilmu itu dirahasiakan ”
Selain kepada Gubernur Madinah,
khalifah juga menulis surat kepada Gubernur lain agar mengusahakan pembukuan
hadis. Khalifah juga secara khusus menulis surat kepada Abu Bakar Muhammad bin
Muslim bin Ubaidillah bin Syihap Az-Zuhri. Kemudian Syihap Az-Zuhri mulai
melaksanakan perintah khalifah tersebut.
Dan Az-Zuhri itulah
yang merupakan salah satu ulama yang pertama kali membukukan hadis.
Dari Syihap Az-Zuhri ini (15-124 H )
kemudian dikembangkan oleh ulama- ulama berikutnya, yang disamping pembukuan
hadis sekaligus usaha menyeleksi hadis-hadis yang maqbul dan mardud dengan
menggunakan metode sanad dan isnad.
Metode sanad dan isnad ialah
matode yang digunakan untuk menguji sumber-sumber pembawa berita hadis (perawi)
dengan mengetahui keadaan para perawi, riwayat
hidupnya, kapan dan dimana ia hidup,
kawan semasa,bagaimana daya tangkap dan ingatannya dan sebagainya. Ilmu
tersebut dibahas dengan ilmuyang dinamakan ilmu hadis dirayah yang kemudian
terkenal dengan ilmu Mustalahul hadis.
Setelah generasi Az-Zahri, kemudian pembukuan
hadis dilanjutkan oleh Ibnu Juraij (W. 150 H) Ar-Rabi’bin shabih (w. 160 H) dan
masih banyak lagi ulama-ulama lainnya.
Sebagaimana telah disebutkan diatas bahwa pembukuan hadis dimulai sejak akhir
masa pemerintahan Bani Umayyah, tetapi belum begitu sempurna. Pada masa
pemerintahan Bani Abbasiyah yaitu pada pertengahan abad 11 H dilakukan upaya
penyempurnaan. Mulai waktu itu kelihatan gerakan secara aktif untuk membukukan
ilmu pengetahuan, termasuk pembukuan dan penullisan hadis-hadis Rasul SAW.
Kitab-kitab yang terkenal pada waktu itu yang ada hingga sekarang sampai kepada
kita, antara lain Al-Muwatha’ oleh
Imam Malik, Al-Musnad oleh Imam
Asy-Syafi’i (204) H. Pembukuan hadis itu kemudian dilanjutkan secara lebih
teliti oleh imam-imam ahli hadis, seperti Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasai, Abu
Daud, Ibnu Majah, dan lain-lain.
Dari mereka itu, kita kenal Kutubus Sittah (kitab-kitab) enam yaitu:
Sahih Al-Bukhari, Sahih Muslim, Sunan
An-Nasai, dan At-Tirmidzi. Tidak
sedikit pada masa berikutnya dari para ulama yang menaruh perhatian besar
kepada Kutubus Sittah tersebut
beserta kitab Muwatta dengan cara
mensyarahinya dan memberi catatan kaki, meringkas atau meneliti sanad dan
mtan-matannya.
Para Ulama ahli hadis
mengistilahkan " menerima
dan mendengarkan suatu periwayatan hadis dari seseorang guru dengan menggunakan
beberapa metode penerimaan hadis "
dengan istilah al-tahmmul. Sedang " menyampaikan atau meriwayatkan hadis kepada
orang lain " mereka istilahkan
dengan al-ada'.
Muhammad, Ahmad, (Bandung:Ulumul
Hadis,2000), pp. 51.