Cari Blog Ini

Minggu, 26 April 2015

Ulumul Hadist


PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang

Hadis adalah sumber ajaran islam yang kedua setelah al-Qur’an. Pada zaman Nabi sesungguhnya sudah ada yang menulis Hadis ini, tetapi jumlahnya sangat terbatas mengingat larangan dari Nabi sendiri dan perhatian sahabat lebih tertuju pada al-Qur’an. Setelah sepeninggal Nabi, Hadis-hadis mulai dibukukan dengan alasan keterbatasan para ulama’ yang menghafal Hadis. Dalam masa yang cukup panjang ini telah terjadi banyak pemalsuan Hadis, sehingga untuk menjaga keaslian Hadis tersebut sesuai apa yang disampaikan Nabi, perlu perhatian khusus dari siapa Hadis diterima, mengingat Hadis sebagai Hujjah kedua dalam Islam.

  1. Rumusan Masalah

Dalam makalah ini yang menjadi rumusan masalah adalah:

1.    Apa yang dimaksud dengan Sanad ?

2.    Bagaimana perkembangan dan permulaan sistem Isnad ?

3.   Apa maksud dari TAHAMMUL WA SIGHAT AL - ADA' ?

4.    Bagaimana dokumentasi atau penghimpunan hadis dilakukan ?

  1. Tujuan Pembahasan

1.    Untuk mengetahui pengertian Sanad.

2.    Untuk mengetahui perkembangan dan permulaan sistem Isnad.

3.    Untuk mengetahui maksud dari TAHAMMUL WA SIGHAT AL - ADA'

4.    Untuk mengetahui cara dokumentasi atau penghimpunan hadis









A.  PENGERTIAN SANAD

            Sanad  dari segi bahasa artinya المتمد (sandaran, tempat bersandar, yang menjadi sandaran). Sedangkan menurut istilah ahli hadis sanad yaitu المتنلىاالطريقةالموصل ( jalan yang menyampaikan kepada matan hadis )[1]. Tetapi secara istilah ada perbedaan pendapat. Al-Badru bin Jama'ah dan Al-Thiby mengatakan bahwa sanad adalah berita tentang jalan matan. Yang lain menyebutkan sanad adalah silsilah orang-orang (yang meriwayatkan hadis), yang menyampaikannya kepada matan hadis. Ada juga yang menyebutkan silsilahpara perawi yang menukilkan hadis dari sumbernya yang pertama.

            Yang berkaitan dengan istilah sanad, terdapat kata-kata seperti, al-isnad, al-musnid,  dan al-musnad. Kata-kata ini secara terminologis mempunyai arti yang cukup luas, sebagaimana yang dikembangkan oleh para ulama. Kata al-isnad berarti menyandarkan, mengasalkan (mengembalikan ke asal), dan mengangkat. Yang dimaksudkan disini, ialah menyandarkan hadis kepada orang yang mengatakannya (raf'u hadits ila qa'ilih atau 'azwu hadits ila qa'ilih)[2].

            Isnad ialah pemberitaan rawi tentang rentetan rawi (yang meriwayatkan) yang dijadikan sandaran dalam periwayatan hadis.  Sanad ialah yang menyampaikan pada matan hadis, yaitu berupa rentetan rawi-rawi yang meriwayatkan hadis dari Rasulullah. Sanad  dari segi Menurut Al-Thiby, sebenarnya kata al-isnad dan al-sanad digunakan oleh para ahli hadis dengan pengertian yang sama.

            Kata al-musnad mempunyai beberapa arti. Bisa berarti hadis yang disandarkan atau diisnadkan oleh seseorang; bisa berarti nama suatu kitab yang menghimpun hadis-hadis dengan sistem penyusunan berdasarkan nama-nama para sahabat para perawi hadis, seperti kitab Musnad Ahmad; bisa juga berarti nama bagi hadis yang marfu' dan muttashil[3].  



B.  PERMULAAN DAN  PERKEMBANGAN SISTEM ISNAD


          Sistem isnad muncul pertama kali pada masa hidup Nabi SAW, dan telah berkembang menjadi ilmu yang mapan pada akhir abad pertama Hijrah. Sistem ini dimulai dari praktek para Sahabat dalam meriwayatkan Hadis Nabi ketika mereka saling bertemu. Secara bergantian dan saling menginformasikan mengenai apa yang telah mereka dengar dan lihat. Sudah biasa juga bahwa siapa saja yang mendapatkan informasi pada tahap kedua, ketika melaporkan kejadian itu kepada orang ketiga, akan menyampaikan sumber-sumber informasinya dan memberikan cerita lengkap mengenai kejadian itu.

            Metode ini, yang digunakan pada masa-masa awal untuk menyebarkan Sunnah Nabi, adalah awal mula sistem isnad. Selama dekade keempat dan kelima tahun Islam sistem itu menjadi penting karena terjadinya pergolakan pada masa itu. Dimungkinkan bahwa pemalsuan Hadis pertama kali muncul pada periode tersebut karena alasan politik. Para ulama menjadi berhati-hati dan mulai meneliti sumber - sumber informasi yang diberikan kepada mereka. Ibn Sirin ( w. 110 H )

berkata : “ Mereka tidak biasa menanyakan isnad, tapi ketika terjadi fitnah mereka berkata : “ Berikan kepadaku nama orang-orangmu “. Karena orang-orang ahli Sunnah, Hadis mereka diterima, sedangkan mereka yang ahli bid’ah Hadis mereka ditolak.” Menjelang akhir abad pertama, praktek semacam ini telah menjadi ilmu yang baku.

Pandangan Schacht secara keseluruhan adalah bahwa sistem isnad mungkin validh biask melacak Hadis-hadis sampai pada ulama-ulama abad kedua, tapi rantai periwayatan yang merentang kebelakang sampai kepada Nabi SAW dan para sahabat adalah palsu. Argumennya dapat diringkas dalam lima poin:

  1. Sistem isnad dimulai pada awal abad kedua atau paling awal akhir abad pertama.
  2. Isnad-isnad itu diletakkan secara sembarangan dan sewenang-wenang oleh mereka yang ingin " memproyeksikan ke belakang " doktrin-doktrin mereka sampai kepada sumber-sumber klasik.
  3. Isnad-isnad itu secara bertahap "meningkat" oleh pemalsuan isnad-isnad yang terdahulu tidak lengkap, tapi semua kesengajaan dilengkapi pada masa koleksi-koleksi klasik.
  4. Sumber-sumber tambahan diciptakan pada masa Syafi'i untuk menjawab penolakan-penolakan yang dibuat untuk hadis-hadis yang dilacak kebelakang sampai kepada satu sumber. "Isnad-isnad keluarga" adalah palsu, dan demikian pula materi yang disampaikan di dalam isnad-isnad itu.
  5. Keberadaan common narrator dalam rantai periwayatan merupakan indikasai bahwa hadis itu berasal dari masa periwayat itu4.


C.  TAHAMMUL WA SIGHAT AL-ADA'

            Para Ulama hadist mengistilahkan “ menerima dan mendengar suatu periwayatan hadis dari seseorang guru dengan menggunakan beberapa metode penerimaan hadis “ dengan istilah Al – Tahammul.  Sedangkan " menyampaikan atau meriwayatkan hadis kepada orang lain " mereka istilahkan dengan al-ada'.

  1. Penerimaan Anak-anak, Orang Kafir, dan Orang Fasik

Jumhur ulama ahli hadis berpendapat, bahwa penerimaan periwayatan suatu hadis oleh anak yang belum sampai umur (belum mukallaf) dianggap sah bila periwayatan hadis tersebut disampaikan kepada keadaan para sahabat , tabi’in, dan ahli ilmu setelahnya menerima periwayatan hadis seperti Hasan, Abdullah bin Zubeir, Ibnu Abbas, Nu’man bin Basyir, Salib bin Yazid dan lain-lain dengan tanpa mempermasalahkan apakah mereka sudah baligh atau belum.

Al-Qadhi ‘Iyad menetapkan, bahwa batas minimal usia anak diperbolehkan bertahammul paling tidak sudah mampu menghafal apa yang didengar dan mengingat-ingat yang dihafal. Pendapat ini didasarkan pada hadis riwayat Bukhari dari Sahabat Mahmud bin Al-Rubai’: “ Saya ingat Nabi SAW meludahkan air yang diambilnya dari timba ke mukaku, sedang pada saat itu saya berusia lima tahun ”

Sementara ulama Syam memandang usia yang ideal bagi seorang untuk meriwayatkan hadis setelah berusia 30 tahun, dan ulama kufah berpendapat minimal 20 tahun[4]. Kebanyakan ulama ahli hadis tidak menetapkan batasn usia tertentu bagi anak yang diperbolehkan bertahammul, akan tetapi lebih menitikberatkan pada ke-tamyiz-an mereka. Namun mereka berbeda pendapat tentang ke-tamyiz-an tersebut.

Terjadinya perbedaan pendapat ulama mengenai ke-tamyiz-an seseorang tidak terlepas dari kondisi yang mempengaruhi kepadanya dan bukan berdasarkan pada usianya tertentu, karena situasi dan kondisi mempengaruhi berbeda, belum mumayiz. Oleh karenanya, ke-tamyiz-an seseorang bukan diukur dari usia, tetapi didasarkan pada tingkat kemampuan menangkap dan memahami pembicaraan dan mampu menjawab pertanyaan dengan benar serta adanya kemampuan menghafal dan mengingat-ingat hafalannya.

Mengenai penerimaan hadis bagi orang kafir dan orang fasik, jumhur ulama ahli hadis menganggap sah, asalkan hadis tersebut diriwayatkan kepada orang lain pada saat mereka telah masuk Islam dan bertaubat. Alasan mereka kemukakan adalah banyaknya kejadian yang mereka saksikan dan banyaknya sahabat yang mendengar sabda Nabi SAW sebelum mereka masuk Islam. Di antara sahabat yang mendengar sabda Rasul SAW pada waktu belum masuk Islam adalah Zubair.

Dia pernah mendengar Rasul SAW membaca surat At-Thur pada waktu sembahyang maghib, ketika dia tiba di Madinah untuk menyelesaikan urusan perang Badar, dalam keadaan masih kafir. Akhirnya dia masuk Islam. Bila penerima hadis oleh orang kafir yang kemudian disampaikannya setelah memeluk Islam dapat diterima, maka sudah barang tentu dianggap sah penerimaan hadis oleh orang fasik yang diriwayatkannya setelah dia bertaubat.


b.   Tahammul Wa Sighat Al-Ada' ( menerima atau mendengar suatu periwayatan hadis dari seseorang guru dan menyampaikan atau meriwayatkan hadis kepada orang lain ) ada delapan cara yaitu:

  1. Al - Sima'min lafazh al-syaikh (mendengar hadis dari guru).

Yaitu seorang guru meng-imla-kan (mendiktekan) hafalan atau tulisannya kepada muridnya. Dan murid-muridnya mendengar, menghafal, dan menulisnya. Dan ini merupakan cara sima' yang paling tinggi.  Sebagian dari mereka ada yang mengatakan bahwa al-sama' yang diberengi dengan   

al-kitabah mempunyai nilai lebih tinggi dan paling kuat. Karena terjamin kebenarannya dan terhindar dari kesalahan dibanding dengan cara-cara lainnya, disamping para sahabat juga menerima hadis dari Nabi SAW dengan cara seperti ini.

Termasuk dalam kategori sama' juga seseorang yang mendengarkan hadis

dari syeikh dari balik sattar (semacam kain pembatas/penghalang). Jumhur ulama membolehkannya dengan berdasar pada para sahabat yang juga pernah melakukan hal demikian ketika meriwayatkan hadis-hadis Rasulullah melalui ummahat al-mu'minin (para istri nabi).

Menurut Al-Qadhi 'Iyad, yang dikutip oleh Al-Suyuti, di dalam cara (sama') ini, para ulama tidak memperselisihkan kebolehan rawy dalam meriwayatkannya, menggunakan kata-kata:

حد ثنا   (seseorang telah menceritakan kepada kami)

اخبرنا   (seseorang telah mengabarkan kepada kami)

انبأنا   (seseorang telah memberitakan kepada kami)

سمعت فلانا(saya telah mendengar seseorang)

قال لنا فلان (seseorang telah berkata kepada kami), dan

ذكر لنا فلان (seseorang telah menuturksn kepada kami)[5]


  1. Al - Qira'ah'ala al-syaikh (membacakan hadis di hadapan guru).

Yaitu seorang murid membacakan hafalan atau tulisannya di hadapan gurunya, sedangkan gurunya dan murid-murid lain mendengarkan. Ini baik sang guru hafal maupun tidak tetapi dia memegang kitabnya atau mengetahui tulisannya atau dia tergolong tsiqqah.

Ajjaj Al-Khatib dengan mengutip pendapat Imam Ahmad mensyaratkan orang yang membaca (qari) itu mengetahui dan memahami apa yang dibaca. Sementara syarat bagi Syeikh dengan mengutip pendapat Imam Haramain[6]- hendaknya yang ahli dan teliti ketika mendengar atau menyimak dari apa yang dibacakan oleh qari, sehingga tahrif maupun tashif dapat terhindarkan. Jika tidak demikian maka proses tahammul tidak sah[7].

Para ulama sepakat bahwa cara seperti ini dianggap sah, namun mereka bereda pendapat mengenai serajat al-qira'ah. Di antara mereka, seperti Al-Lais bin Sa'ad, Syu'ban, Ibnu Juraih, Sufyan Al-Tsauri, Abu Hunifah, menganggap bahwa al-qira'ah lebih baik jika dibanding al-sama', sebab dalam al-sama' bila bacaan guru salah, murid tidak leluasa menolak kesalahan, tetapi dalam al-qira'ah, bila bacaan murid salah, guru segera membenarkannya.

Imam Malik, Bukhari, sebagian besar ulama Hijaz dan Kufah menganggap bahwa antara al-qira'ah i dengan al-sama' mempunyai derajat yang sama. Ibnu Abbas mengatakan (kepada muridnya) " Bacakanlah kepadaku, sebab bacaan kalian kepadaku seperti bacaanku kepada kalian. " Sementara Ibnu Al-Shalah, Imam Nawawi dan Jumhur ulama memandang bahwa al-sama' lebih tinggi derajatnya dibanding dengan cara al-qira'ah.


  1. Al - Ijazah ( pemberian izin guru untuk meriwayatkan hadis secara lisan atau tulisan )

Para ulama berbeda pendapat mengenai penggunaan ijazah ini sebagai cara untuk meriwayatkan hadis. Ibnu Hazm mengatakan bahwa cara meriwayatkan hadis dengan cara menggunakan ijazah ini dianggap bid'ah dan tidak diperbolehkan dan bahkan ada sebagian ulama yang menambahkan bahwa ijazah ini benar-benar diingkari. Sedangkan  ulama yang memperbolehkan cara ijazah ini menetapkan syarat hendaknya sang guru benar-benar mengerti tentang apa yang diijazahkan dan naskah muridnya menyamai dengan yang lain, sehingga seolah-olah naskah tersebut adalah aslinya serta hendaknya guru yang memberi ijazah itu benar-benar ahli ilmu.        


  1. Al - Munawalah ( pemberian kitab hadis dari guru kepada murid ).

Al-Munawalah mempunyai dua bentuk, yakni: Pertama, Al-Munawalah dibarengi dengan ijazah. Misalnya setelah sang guru menyerahkan kitabnya yang telah dia riwayatkan atau naskahnya yang telah dicocokan atau beberapa hadis yang telah ditulis, lalu dia katakan kepada muridnya " ini riwayat saya, maka riwayatkanlah diriku ", kemudian menyerahkannya dan sang murid menerima sambil sang guru berkata " saya telah ijazahkan kepadamu untuk kamu riwayatkan dariku "

Kedua, Al-Munawalah tanpa dibarengi dengan ijazah. Seperti perkataan guru kepada muridnya " ini hadis saya " atau " ini adalah hasil pendengaranku atau dari periwayatanku " dan tidak mengatakan " riwayatkanlah dariku atau saya ijazahkan kepadamu ". Menurut kebanyakan ulama al-munawalah dalam bentuk ini tidak diperbolehkan. Hadis yang diriwayatkan berdasarkan munawalah tanpa dibarengi ijazah biasanya menggunakan redaksi: seseorang telah memberikan kepadaku/kami.

  1. Al - Mukatabah (guru menulis hadis yang didengar untuk murid).

Yaitu seorang guru menuliskan sendiri atau menyuruh orang lain untuk menuliskan sebagian hadisnya guna diberikan kepada murid yang ada di hadapannya atau yang tidak hadir dengan jalan dikirimi surat melalui orang yang dipercaya untuk menyampaikannya :

Al-Mukatabah ada dua macam, yakni:

Pertama, Al - Mukatabah yang dibarengi dengan ijazah, yaitu sewaktu sang guru menuliskan beberapa hadis untuk deberikan kepada muridnya disertai dengan kata-kata ini "ini adalah hasil periwayatanku, maka riwayatkanlah" atau   " saya ijazah(izin)-kan kepadamu untuk kamu riwayatkan kepada orang

lain “ Kedudukan al-mukatabah dalam bentuk ini sama halnya dengan

al-munawalah yang dibarengi dengan ijazah, yakni dapat diterima.

Kedua, Al - Mukatabah yang tidak dibarengi dengan ijazah, yakni guru menuliskan hadis untuk diberikan kepada muridnya dengan tranpa disertai perintah untuk meriwayatkannya atau mengijazahkan. Al-mukatabah dalam bentuk ini di perselisihkan oleh para ulama. Ayub, mansur, Al-Lais, dan tidak sedikit dari ulama Syafi'iyah dan ulama usul menganggap sah periwayatan dengan cara ini. Sedangkan Al-mawardi menganggap tidak sah.


  1. Al - I'lam (pemberitahuan guru kepada murid tentang hadis atau kitab hadis).

Yaitu memberitahukan seorang guru kepada muridnya, bahwa kitab atau hadis yang diriwayatkannya dia terima dari seseorang (guru), dengan tanpa memberikan izin kepada muridnya untuk meriwayatkannya atau menyuruhya. Sebagian ulama ahli ushul dan pendapat ini dipilih oleh Ibnu Al-Shalah menetapkan tidak sah meriwayatkan hadis dengan cara ini. Karena dimungkinkan bahwa sang guru sudah mengetahui ada sedikit atau banyak cacatnya. Sedangkan kebanyakan ulama ahli hadis, ahli fiqih, dan ahli ushul memperbolehkan.


  1. Al - Wasiyah ( wasiat guru kepada murid sebelum wafatnya tentang kitab hadis yang diriwayatkannya ).

Yaitu seorang guru, ketika akan meninggal atau berpergian, meninggalkan pesan kepada orang lain untuk meriwayatkan hadis atau kitabnya, setelah sang guru meninggal atau berpergian. Periwayatan hadis dengan cara ini oleh jumhur dianggap lemah. Sementara Ibnu Sirin membolehkan mengamalkan hadis yang diriwayatkan atas jalan wasiat ini. Orang yang diberi wasiat ini tidak boleh meriwayatkan hadis ini dari si pemberi wasiat dengan redaksi.

           

  1.  Al - Wijadah ( penemuan hadis oleh murid dari tulisan yang diriwayatkan seorang guru )

Yaitu seorang memperoleh hadis orang lain denga mempelajari kitab-kitab hadis dengan tidak melalui cara al-asma', al-ijazah, atau al-munawlah. Para ulama berselisih pendapat mengenai cara ini. Kebanyakan ahli hadis dan ahli fiqih dari manzhab Maliky tidak memperbolehkan meriwayatkan hadis dengan cara ini. Imam Syafi'i dengan golongan pengikutnya memperbolehkan beramal dengan hadis yang periwayatannya melalui cara ini. Ibnu-shalah mengatakan, bahwa sebagian ulama Muhaqqiqin mewajibkan mengamalkan bila diyakini kebenarannya.

           

      Adapun sighat al-ada' atau lafazh-lafahz untuk menyampaikan hadis dapat

dikelompokkan kepada dua kelompok[8], yaitu:

  1. Lafazh meriwayatkan hadis bagi para rawi yang mendengar langsung dari gurunya, seperti  سمعنا ,ستعت ( saya telah mendengar, kami telah mendengar ), lafazh ini membuat nilai hadis yang diriwayatkannya tinggi martabatnya, dikarenakan para rawinya mendengar sendiri-sendiri baik berhadapan muka  dengan guru yang memberikannya atau dibelakang tabir. Kemudian lafazh tahdits  حدثنا, حدثني ( telah bercerita kepadaku, telah bercerita kepada kami ), di bawahnya ada lafazh ikhbar   اخبرنا, اخبرنى  ( telah mengabarkan kepadaku, telah mengabarkan kepada kami ), selanjutnya lafazh  لنقل ,  لىقل  ( telah berkata kepadaku, telah menuturkan kepada kami ).
  2. Lafazh riwayat bagi rawi yang mungkin mendengar sendiri atau tidak mendengar sendiri, seperti نا عن, حكى , يور  (diriwayatkan oleh, dikisahkan oleh, dari, bahwasanya).


D.  DOKUMENTASI ATAU PENGHIMPUNAN HADIS

            Pada abad pertama hijrah, yakni masa Rasulullah SAW, masa khulafaur Rasyidin dan sebagian besar masa bani umayah, hingga akhir abad pertama hijrah, hadis-hadis itu berpindah-pindah dan disampaikan dari mulut ke mulut. Masing - masing perawi pada waktu itu meriwayatkan hadis berdasarkan kekuatan hafalannya. Memang hafalan mereka terkenal kuat sehingga mampu mengeluarkan kembali hadis - hadis yang pernah direkam dalam ingatannya.

            Ide penghimpunan hadis Nabi secara tertulis untuk pertama kalinya dikemukakan oleh khalifah Umar bin Khatab (w.23/H/644M). Namun ide tersebut tidak dilaksanakan oleh Umar karena beliau khawatir bila umat islam terganggu perhatiannya dalam mempelajari Al-Qur’an[9].

            Pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang dinobatkan akhir abad pertama hijrah, yakni tahun 99 hijrah datanglah angin segar yang mendukung kelestarian hadis. Umar bin Abdul Aziz seorang khalifah dari Bani Umayyah terkenal adil dan wara’, sehingga beliau dipandang sebagai khalifah Rasyidin yang kelima.

            Beliau sangat waspada dan sadar, bahwa para perawi yang mengumpulkan hadis dalam ingatannya semakin sedikit jumlahnya, karena meninggal dunia. Beliau khawatir apabilka tidak segera dikumpulkan dan dibukukan dalam buku-buku hadis dari para perawinya, mungkin hadis-hadis itu akan lenyap bersama lenyapnya para penghafalnya. Maka tergeraklah dalam hatinya untuk mengumpulkan hadis-hadis Nabi dari para penghafal yang masih hidup. Pada tahun 100 H. Khalifah Umar bin Abdul Aziz memerintahkan kepada gubernur Madinah, Abu Bakar bin Muhammad bin Amir bin Hazm supaya membukukan hadis-hadis Nabi yang terdapat pada para penghafal.

           


Umar bin Abdul Azis menulis surat kepada Abu Bakar bin Hazm yang berbunyi :

“ Perhatikanlah apa yang dapat di peroleh dari hadis Rasul lalu tulislah, karena aku takut akan lenyap ilmu disebabkan meninggalnya ulama dan jangan diterima selain hadis Rasul SAW. Dan hendaklah disebarluaskan ilmu dan diadakan majelis-majelis ilmu supaya orang yang tidak mengetahuinya dapat mengetahuinya , maka sesungguhnya ilmu itu dirahasiakan ”

            Selain kepada Gubernur Madinah, khalifah juga menulis surat kepada Gubernur lain agar mengusahakan pembukuan hadis. Khalifah juga secara khusus menulis surat kepada Abu Bakar Muhammad bin Muslim bin Ubaidillah bin Syihap Az-Zuhri. Kemudian Syihap Az-Zuhri mulai melaksanakan perintah khalifah tersebut.

Dan Az-Zuhri itulah yang merupakan salah satu ulama yang pertama kali membukukan hadis.

            Dari Syihap Az-Zuhri ini (15-124 H ) kemudian dikembangkan oleh ulama- ulama berikutnya, yang disamping pembukuan hadis sekaligus usaha menyeleksi hadis-hadis yang maqbul dan mardud dengan menggunakan metode sanad dan isnad.

            Metode sanad dan isnad ialah matode yang digunakan untuk menguji sumber-sumber pembawa berita hadis (perawi) dengan mengetahui  keadaan para perawi, riwayat hidupnya, kapan dan dimana ia hidup,  kawan semasa,bagaimana daya tangkap dan ingatannya dan sebagainya. Ilmu tersebut dibahas dengan ilmuyang dinamakan ilmu hadis dirayah yang kemudian terkenal dengan ilmu Mustalahul hadis.

            Setelah generasi Az-Zahri, kemudian pembukuan hadis dilanjutkan oleh Ibnu Juraij (W. 150 H) Ar-Rabi’bin shabih (w. 160 H) dan masih banyak lagi ulama-ulama  lainnya. Sebagaimana telah disebutkan diatas bahwa pembukuan hadis dimulai sejak akhir masa pemerintahan Bani Umayyah, tetapi belum begitu sempurna. Pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah yaitu pada pertengahan abad 11 H dilakukan upaya penyempurnaan. Mulai waktu itu kelihatan gerakan secara aktif untuk membukukan ilmu pengetahuan, termasuk pembukuan dan penullisan hadis-hadis Rasul SAW. Kitab-kitab yang terkenal pada waktu itu yang ada hingga sekarang sampai kepada kita, antara lain Al-Muwatha’ oleh Imam Malik, Al-Musnad oleh Imam Asy-Syafi’i (204) H. Pembukuan hadis itu kemudian dilanjutkan secara lebih teliti oleh imam-imam ahli hadis, seperti Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasai, Abu Daud, Ibnu Majah, dan lain-lain.

            Dari mereka itu, kita kenal Kutubus Sittah (kitab-kitab) enam yaitu: Sahih Al-Bukhari, Sahih Muslim, Sunan An-Nasai, dan At-Tirmidzi. Tidak sedikit pada masa berikutnya dari para ulama yang menaruh perhatian besar kepada Kutubus Sittah tersebut beserta kitab Muwatta dengan cara mensyarahinya dan memberi catatan kaki, meringkas atau meneliti sanad dan mtan-matannya.           

            Para Ulama ahli hadis mengistilahkan " menerima dan mendengarkan suatu periwayatan hadis dari seseorang guru dengan menggunakan beberapa metode penerimaan hadis " dengan istilah al-tahmmul. Sedang " menyampaikan atau meriwayatkan hadis kepada orang lain " mereka istilahkan dengan al-ada'.








DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Muhammad,2000, Ulumul Hadis, Bandung : Pustaka Setia

Azami, 2004, Menguji Keaslian Hadis – Hadis Hukum, Jakarta : Pustaka Firdaus

Fayyad, Mahmud Ali, 1998, Metodologi Penetapan Kesahihan Hadis, Bandung :

                   Pustaka Setia

Izzan, Ahmad, 2011, Ulumul Hadis, Bandung : Tafakur

Muhammad, Teungku, 1999, Sejarah & Pengantar Ilmu Hadits, Semarang :

                   Pustaka Rizky Putra

Suparta, Munazir, 2011, Ilmu Hadis, Jakarta : Raja Grafindo Persada




[1] Muhammad, Ahmad, (Bandung:Ulumul Hadis,2000), pp. 51.
[2] Munzier, Suparta, (Jakarata Utara:Ilmu Hadis, 2011), pp.46.
[3] Mahmud Al-Thahhan, op.cit., hlm. 16. Hadis Marfu' dan hadis muttashil adalah dua istilah untuk hadis yang disandarkan kepada Nabi SAW. dan sanadnya bersambung.
[4] Ulama Kufah dalam kehidupan sehari-harinya tidak mengizinkan putra-putranya untuk belajar hadis sebelum mencapai usia 30 tahun. Untuk usia di bawah itu disibukkan dengan menghafal Al-Qur’an, belajar ilmu faraidh, fiqih dan lain-lain. Lihat Al-Suyuthi, Tadrid Al-Rawi, Jilid 2, (Beirut: Dar Al-Fikr,1988), hlm.5
[5] Ibid, hlm. 8.
[6] Imam Haramaian adalah gelar untuk Imam Al-Rofi’i dan Imam Al- Nawawi
[7] Ajjaj Al-Khathib, Ushul Al-Hadits Ulumuhu wa Mushtthalahuhu, (Beirut:Dar Al-Fikr,1981), cet. Ke-4, hlm.234.
[8]Ahmad, Izzan, (Bandung:Ulumul Hadis, 2011), pp.22.
[9] Shuhudi, Ismail, (Jakarta: Hadis Nabi Menurut Pembela, Pengingkar dan Pemalsuan, 1995), pp.51.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar